Bara di Perbatasan: Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut dan Bayang-Bayang Kepentingan “Nasional”

Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Bara di Perbatasan: Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut dan Bayang-Bayang Kepentingan “Nasional”

Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Aceh – Di tengah riuhnya klaim administratif dan dasar hukum yang saling berbenturan, sengketa empat pulau tak berpenghuni—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang—telah menjelma menjadi bara dalam sekam yang mengancam perdamaian di Aceh. Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengalihkan status administratif pulau-pulau ini ke Sumatera Utara bukan sekadar penegasan batas wilayah di atas kertas; ia adalah pukulan telak bagi harga diri dan memori kolektif masyarakat Aceh, yang berpotensi mengoyak kembali tenun perdamaian yang telah susah payah dirajut.

Ini bukan lagi sekadar perselisihan teknis; ini adalah drama politik yang sarat kepentingan, di mana setiap langkah dan pernyataan memiliki resonansi yang jauh melampaui garis batas di peta.

Sejarah yang Berdarah, Perdamaian yang Terancam

Sengketa atas empat pulau ini, yang konon telah berlangsung sejak 1928 , adalah bukti nyata betapa rapuhnya sistem penataan batas wilayah di Indonesia. Puluhan tahun berlalu, berbagai era pemerintahan silih berganti, namun masalah fundamental ini tak kunjung tuntas. Kini, Kemendagri, dengan Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 yang ditegaskan kembali pada April 2025 , seolah ingin memaksakan “solusi” yang justru memicu “luka baru” di Aceh.

Bagi Aceh, persoalan tanah bukan hanya isu administrasi, tapi juga tentang harga diri. Wilayah ini, dengan sejarah konflik yang panjang dan perjuangan otonomi yang berdarah, sangat sensitif terhadap setiap keputusan yang dianggap merampas hak atau mengabaikan identitas mereka. Generasi Muda seperti penulis khawatir keputusan ini dapat “membangkitkan gerakan lepas dari NKRI” atau “memantik perpecahan”. Ini bukan retorika kosong; ini adalah peringatan serius dari sebuah wilayah yang pernah merasakan pahitnya konflik berkepanjangan.

Pemerintah Aceh, di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf (Mualem), telah bersuara lantang. Mualem menegaskan bahwa empat pulau tersebut adalah hak Aceh dan pihaknya memiliki bukti kuat, termasuk kesepakatan tahun 1992 yang disaksikan Mendagri Rudini. Mereka juga menyodorkan bukti fisik: tugu “Selamat Datang” yang dibangun Pemkab Aceh Singkil, tugu berkoordinat, rumah singgah, musholla, hingga dermaga. Bahkan, masyarakat yang secara historis menetap di sana memiliki KTP Aceh. Ini adalah klaim yang kuat, berbasis pada sejarah, bukti fisik, dan ikatan sosial budaya.

Baca Juga:  Perempuan Di Pidie Jaya Dibunuh Suaminya Gegara Sering Live Tiktok

Mengukur Suhu di Titik Nol Konflik

Di tengah memanasnya situasi, kunjungan anggota DPR RI asal Aceh ke empat pulau sengketa menjadi sorotan. Meskipun detail spesifik kunjungan tersebut tidak selalu terekspos secara luas, kehadiran mereka di lapangan memiliki efek ganda: pertama, sebagai bentuk dukungan moral dan penegasan bahwa suara Aceh didengar di Senayan; kedua, sebagai upaya untuk mengumpulkan data dan fakta objektif langsung dari lokasi sengketa.

Beberapa Anggota DPR RI seperti Muslim Ayub dan Dek Gam (anggota DPR RI dari Aceh) telah secara vokal menolak keputusan Kemendagri. Mereka tidak hanya menyuarakan kekhawatiran akan terganggunya perdamaian, tetapi juga menyoroti bukti-bukti kepemilikan Aceh, seperti KTP warga di pulau-pulau tersebut. Kunjungan semacam ini, yang diikuti dengan pernyataan-pernyataan keras, secara langsung meningkatkan tekanan politik terhadap Kemendagri dan pemerintah pusat.

Efek dari kunjungan ini tak bisa diremehkan. Ia menguatkan posisi Pemerintah Aceh dan masyarakatnya, memberikan legitimasi pada penolakan mereka. Ketika perwakilan rakyat turun langsung ke lapangan, pesan yang disampaikan menjadi lebih kuat: ini bukan sekadar isu birokrasi, melainkan masalah yang menyentuh hati nurani rakyat. Kunjungan ini juga berpotensi memobilisasi dukungan publik yang lebih luas, baik di Aceh maupun di tingkat nasional, yang pada gilirannya dapat memaksa pemerintah pusat untuk meninjau ulang keputusannya dengan lebih hati-hati.

Bayang-Bayang “Trah Solo” dan Aroma Migas

Tak bisa dimungkiri, sengketa ini juga terseret dalam pusaran dinamika politik nasional, khususnya terkait narasi “Trah Solo Jokowi”. Kehadiran Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi, sebagai Gubernur Sumatera Utara—provinsi yang diuntungkan dari pengalihan pulau—secara tak terhindarkan memicu spekulasi. Meskipun Bobby berulang kali menegaskan bahwa keputusan ini adalah wewenang pemerintah pusat dan bukan intervensinya , persepsi publik sulit dihindari.

Baca Juga:  PT MSB ll Nekat Beroperasi Meski Diduga Belum Memiliki Izin Lengkap

Posisi politik Bobby yang dekat dengan pusat kekuasaan memberinya “dukungan yang cukup untuk memperkuat klaim administratifnya”. Ini adalah kritik tajam terhadap bagaimana modal politik dapat memengaruhi interpretasi atas keputusan administratif.

Di balik itu semua, dugaan motif ekonomi menguar kuat. Beberapa kalangan terang-terangan menuduh pengalihan pulau-pulau ini terkait dengan potensi minyak dan gas (migas) yang melimpah, bahkan menyebut adanya rencana investasi triliunan rupiah dari Uni Emirat Arab (UEA). Meskipun Kepala BPMA Nasri Djalal menyatakan data seismik masih kurang , Kepala Dinas ESDM Aceh Taufik mengkonfirmasi adanya penelusuran data lama terkait potensi migas di kawasan tersebut. Jika benar ada “harta karun” di sana, ini akan mengubah sengketa administratif menjadi perebutan sumber daya bernilai tinggi, yang jauh lebih kompleks dan berisiko.

Harapan dan Jalan Keluar: Merajut Kembali Harmoni

Melihat kompleksitas dan potensi dampak destruktif dari sengketa ini, ada harapan besar agar semua pihak dapat menahan diri dan mencari solusi yang adil serta berkelanjutan. Perdamaian di Aceh adalah aset nasional yang tak ternilai, yang tidak boleh dikorbankan demi keputusan administratif yang terburu-buru atau kepentingan tersembunyi.

Kedua provinsi harus mengedepankan semangat persaudaraan. Alih-alih saling mengklaim, dialog yang konstruktif dan terbuka adalah kunci. Tawaran Bobby Nasution untuk mengelola pulau-pulau ini bersama-sama, jika statusnya jelas, bisa menjadi titik awal yang baik. Fokus pada potensi ekonomi bersama, seperti pengembangan pariwisata atau pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan pembagian hasil yang adil, akan jauh lebih produktif daripada terus-menerus berkonflik. Ini akan mengubah sengketa menjadi peluang kolaborasi demi kesejahteraan masyarakat di kedua belah pihak.

Kemendagri, sebagai fasilitator utama dalam sengketa batas wilayah , memiliki peran krusial untuk tidak hanya berpegang pada data teknis semata. Penting bagi Kemendagri untuk mempertimbangkan dimensi historis, sosial, dan budaya yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh. Proses penyelesaian harus lebih partisipatif dan transparan, melibatkan perwakilan masyarakat adat dan tokoh-tokoh lokal. Jika jalur hukum melalui PTUN ditempuh , Kemendagri harus memastikan prosesnya berjalan seadil-adilnya dan hasilnya dapat diterima oleh semua pihak. Namun, mediasi dan negosiasi yang lebih intensif, dengan semangat mencari titik temu yang menghormati harga diri Aceh dan kepastian hukum bagi semua, akan lebih baik daripada keputusan sepihak yang berpotensi memicu ketegangan.

Baca Juga:  RSU Cut Meutia Peringati Hari Ginjal Sedunia

Pada akhirnya, penyelesaian sengketa empat pulau ini harus menjadi contoh bagaimana Indonesia mengelola keragaman dan kompleksitas wilayahnya. Bukan dengan memaksakan kehendak, melainkan dengan dialog, empati, dan komitmen bersama untuk menjaga perdamaian dan keutuhan bangsa. Hanya dengan begitu, “api dalam sekam” dapat dipadamkan, dan pulau-pulau itu dapat menjadi jembatan persahabatan, bukan jurang perpecahan.

Oleh Reza Rizki – (Generasi Muda Aceh)

BERITA TERKAIT