Eks Kantor KADIN Aceh Utara: Aset Publik yang “Raib” Dalam Senyap

Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Eks Kantor KADIN Aceh Utara: Aset Publik yang “Raib” Dalam Senyap

Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Aceh Utara – Pengelolaan aset publik adalah ukuran paling sederhana sekaligus paling telanjang dari integritas pemerintah daerah. Namun, kasus penjualan eks Kantor KADIN Aceh Utara di Kota Lhokseumawe justru menghadirkan tanda tanya besar: benarkah pemerintah sedang membangun tata kelola yang transparan, atau malah menutup-nutupi praktik maladministrasi?

Aset Publik Bukan Warisan Pribadi

Bangunan eks Kantor KADIN adalah barang milik daerah. Artinya, ia bukan tanah warisan pejabat yang bisa dijual seenaknya, bukan pula harta keluarga yang bisa dipindah tangan lewat lobi meja makan. Ada prosedur baku yang wajib ditaati, sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Aturan tersebut menegaskan bahwa penjualan aset daerah harus melalui tahapan:

1. Penilaian oleh appraisal independen,

2. Persetujuan kepala daerah dengan rekomendasi DPRK,

3. Lelang terbuka melalui KPKNL,

4. Setoran hasil penjualan ke kas daerah sebagai PAD,

5. Penghapusan dari daftar inventaris barang milik daerah.

Jika salah satu tahapan ini diabaikan, maka proses penjualan bisa dianggap cacat hukum. Pertanyaannya: sudahkah semua tahapan ini dijalankan?

Maladministrasi atau Penyalahgunaan Wewenang?

Minimnya dokumen resmi dan kaburnya alur administrasi memperkuat dugaan bahwa kasus ini bukan sekadar maladministrasi, tetapi bisa berimplikasi hukum. Jika hasil penjualan tidak pernah masuk ke kas daerah, maka itu bukan lagi soal kelalaian birokrasi, melainkan indikasi penyalahgunaan wewenang yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Undang-Undang Tipikor jelas menyebut: setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan hingga menimbulkan kerugian keuangan negara dapat dijerat hukum. Apakah pejabat terkait siap mempertanggungjawabkan ini?

DPRK Jangan Jadi Penonton

Diamnya DPRK Aceh Utara menambah kecurigaan publik. Padahal, mereka punya fungsi pengawasan yang melekat. Lebih ironis lagi, isu sebesar ini tidak pernah masuk ke dalam Panitia Khusus (Pansus) DPRK. Kenapa? Apakah ada kompromi politik? Atau DPRK memang sengaja menghindari isu yang bisa menyeret nama pejabat tertentu?

Baca Juga:  AKP Muhammad Nizar Resmi Jabat Sebagai Kasat Reskrim Nagan Raya

Ketika DPRK gagal membentuk Pansus untuk mengusut kasus aset publik, rakyat hanya bisa menyimpulkan satu hal: lembaga legislatif telah berubah dari pengawas menjadi penonton.

Publik Berhak Tahu

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak masyarakat untuk mengetahui dokumen-dokumen penjualan aset daerah. Jika Pemkab benar menjalankan prosedur, seharusnya mereka tidak keberatan membuka berita acara lelang, bukti setoran PAD, hingga SK penghapusan aset. Tetapi jika semua itu tidak ada, publik berhak menyebutnya dengan satu kata: skandal.

Menjaga Integritas Daerah

Penjualan eks Kantor KADIN Aceh Utara hanyalah satu contoh dari wajah buruk tata kelola aset daerah. Jika kasus ini dibiarkan, maka pemerintah sedang memberi pesan berbahaya: bahwa aset publik bisa dilego sesuka hati tanpa konsekuensi.

Rakyat Aceh Utara berhak menuntut jawaban. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya satu gedung di Lhokseumawe, melainkan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang selama ini semakin menipis.

Penulis: Musliadi

BERITA TERKAIT