Inkonsistensi Polemik Pelarangan Konser di Aceh: Sebuah Tinjauan Dalam Persepsi Filsafat Ilmu

Foto: Naufal Amin S.Ag
Foto: Naufal Amin S.Ag

Inkonsistensi Polemik Pelarangan Konser di Aceh: Sebuah Tinjauan Dalam Persepsi Filsafat Ilmu

Foto: Naufal Amin S.Ag
Foto: Naufal Amin S.Ag

Penulis: Naufal Amin S.Ag
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh:

Opini: Dalam satu dasawarsa terakhir, muncul sebuah polemik di lingkungan masyarakat Aceh yang hangat untuk diperbincangkan, yakni terkait pelarangan konser yang diselenggarakan di provinsi Aceh. Dari sekian banyaknya konser, beberapa diantaranya terpaksa dibatalkan secara mendadak dan sepihak karena pelarangan ataupun pencabutan izin pelaksanaan konser. Ketika sebuah event dilaksanakan di daerah Aceh dengan puncak acara pentas konser, maka akan timbul banyak protes keras dan kecaman baik dari kalangan ulama, masyarakat maupun ormas agama yang ada di Aceh.

Pada dasarnya, masyarakat Aceh terpecah menjadi dua kubu dalam menanggapi permasalahan ini, terdapat kubu yang pro atau kontra. Kubu kontra berasumsi bahwa pelaksanaan konser akan berakibat pada penistaan ajaran syariat Islam yang menjadi ikon bagi daerah Aceh, sedangkan kubu pro berspekulasi bahwa terkait pelarangan aktivitas konser masih memiliki tendensi tebang pilih dan tumpang tindih, sehingga pelarangannya tidak menyeluruh pada semua aktivitas konser yang dilaksanakan di Aceh.

Memang, pelarangan aktivitas konser bagi masyarakat Aceh merupakan upaya antisipatif terjadinya pelanggaran syariat Islam dan bentuk ejawantah dari pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) nomor 11 tahun 2006, khususnya pada BAB XVII Tentang Syariat Islam dan Pelaksaaannya.
Pada dasarnya, ada beberapa hal utama yang menjadi titik concern bagi masyarakat Aceh pada umumnya terkait polemik ini, yakni :
Konser dan Musik

Pada prinsipnya, banyak ulama kontemporer menganalogikan konser musik dengan hiburan. Dalam Islam, hiburan merupakan suatu hal yang diperkenankan dan hukumnya boleh. Hal itu dilatarbelakangi oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, dimana Rasulullah SAW dan istrinya Aisyah menyaksikan pertunjukkan di sebuah masjid. Pada peristiwa tersebut tidak ada pengingkaran dari Rasulullah berkenaan dengan pertunjukkan oleh orang-orang Habasyah tersebut.

Disisi yang lain, terkait dengan musik sendiri terjadi ikhtilaf antar ulama-ulama. Jumhur ulama telah bersepakat bahwa musik hukumnya haram dengan dalih melalaikan dan mengarah pada kemaksiatan. Sedangkan ulama kontemporer seperti al-Ghazali dan Ibnu hazm beranggapan bahwa musik tidaklah mutlak haram, jika hal tersebut memiliki implikasi yang baik bagi kehidupan manusia dan ketaatannya terhadap tuhan. Oleh karenanya, sangat tidak bijaksana apabila hanya berpijak hanya di satu pendapat.
Pembatasan antara laki-laki dan perempuan
Pada perhelatan konser musik, semua orang berkumpul di satu tempat secara acak, sehingga antara wanita dan pria hampir tak bisa dipisahkan, bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa penghalang hampir tak bisa dielakkan. Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan, anggota tubuh manapun yang haram dilihat dari lawan jenis yang bukan mahram, maka hukum menyentuhnya tanpa penghalang juga sama, yaitu haram.

Oleh karena alasan tersebut, berlaku sebuah kaidah hukum fiqh yang menyatakan “mencegah kemudaratan, lebih baik mengambil kemashlahatan”, yang jika kita analogikan berarti lebih baik mencegah pelaksanaan konser yang berakibat fatal dalam pelanggaran syariat Islam, daripada menjadikan konser sebagai media satu-satunya hiburan.
Sejalan dengan pernyataan diatas, pada hakikatnya yang berkaitan dengan konser sendiri memiliki sisi kompleksitas. Hal ini bukan hanya berbicara tentang larangan atau kebolehan adanya konser, akan tetapi esensi makna dari konser sendiri bagi kehidupan manusia. Kita kerap kali berdialektika pada hal-hal nyata yang hanya tampak dari permukaan, namun menutup diri pada hal-hal yang menjadi hakikat dari realitas sebuah

permasalahan. Melalui metodologi filsafat ilmu, kita dapat menyingkap akar dari polemik ini secara holistik dengan melihat dasar dari sebuah realitas (ontologi), cara bagaimana hal tersebut terjadi (epistemologi), serta nilai atau manfaat yang seharusnya menjadi benang merah keabsahan sebuah permasalahan yang dikaji.

Kajian Ontologis : Sisi Fundamental Konser Serta Korelasinya Dengan Sifat Alamiah Manusia
Hakikatnya, kajian ontologis bersifat pada pengamatan hakikat dari segala sesuatu, atau interpretasi dari ultimate reality hal yang dikaji. Secara ontologis, konser merupakan bagian dari hiburan yang bertujuan memberikan penguatan positif dengan cara merangsang sensasi senang untuk meredakan tekanan psikologis. Kajian ontologis terhadap konser berupaya memahami hakikat dan keberadaan konser itu sendiri sebagai suatu fenomena. Secara esensial, konser dapat didefinisikan bukan hanya sebagai rangkaian bunyi yang terorganisir, tetapi sebagai peristiwa kolektif yang melibatkan interaksi kompleks antara seniman, karya musik, dan audiens dalam ruang dan waktu yang terikat. Konser memiliki keberadaan ganda: sebagai objek fisik (alat musik, panggung, tempat) dan sebagai realitas imaterial (pengalaman estetika, emosi bersama, dan interpretasi artistik). Ia adalah entitas yang muncul, bertahan sesaat dalam durasi pertunjukannya, dan kemudian hanya menyisakan jejak dalam memori dan rekaman.

Konser adalah suatu “being-in-act”, di mana esensi musik menjadi aktual melalui performa dan penerimaan. Dengan kata lain, ontologi konser memiliki keterikatan yang tidak bisa dilepaskan pada sosio-historis perilaku manusia.
Kajian Epistemologis: Proses Epistemik Dalam Visualisasi Konser
Epistemologi dalam filsafat ilmu terhadap konser menelaah bagaimana pengetahuan tentang musik dan pengalaman estetik dibentuk, divalidasi, serta dipahami melalui aktivitas pertunjukan langsung.

Dalam perspektif ini, konser bukan sekadar hiburan, tetapi merupakan proses epistemik yang melibatkan hubungan antara subjek (penonton), objek (musik dan performer), serta konteks sosial budaya yang melingkupinya. Pengetahuan yang muncul dari konser bersifat empiris karena diperoleh melalui pengalaman inderawi seperti suara, visual, ritme, dan atmosfer. Namun, juga bersifat rasional ketika penonton menafsirkan makna, kualitas artistik, dan pesan simbolik yang disampaikan. Konser menjadi sarana pengujian nilai estetis dan musikal, tempat teori tentang keindahan, ekspresi, atau kreativitas diuji melalui praktik nyata.

Dengan demikian, dalam kerangka epistemologi filsafat ilmu, konser dapat dipahami sebagai ruang produksi dan verifikasi pengetahuan estetik yang bersifat multidimensional, intersubjektif, dan kontekstual.

Dalam hal ini, mestinya kajian pada epistemologi di pembahasan ini telah memaparkan bagaimana pengalaman indvidual dalam merekam makna-makna yang ditampilkan dalam ranah visual konser, meskipun secara realita justru sering kali dimultitafsirkan. Oleh karenanya epistemologi merepresentasikan kepada kita bahwa kebenaran sudah seharusnya memiliki keserasian antara fakta dan pengalaman, antara konsep dan realitas.

Kajian Aksiologis: Arah Nilai dan Tujuan Dalam Maksud Konser

Dalam aspek aksiologi, pembahasan banyak berkutat pada untuk apa dan apa manfaat secara esensial dari hal tersebut. Aksiologi memaknai konser sebagai ruang yang mengandung dan memproduksi nilai estetis, etis, maupun sosial. Secara etis, konser dapat mencerminkan nilai-nilai seperti solidaritas, kebersamaan, dan penghormatan terhadap karya serta keberagaman budaya. Dalam dimensi sosial, konser berfungsi sebagai ruang interaksi dan pembentukan identitas kolektif, di mana masyarakat menemukan nilai kebersamaan melalui pengalaman musikal yang serupa. Selain itu, konser juga dapat memuat nilai edukatif, misalnya dalam menumbuhkan apresiasi seni atau memperluas wawasan tentang genre musik tertentu.

Hal-hal tersebut dijajakan pada ruang publik sebagai media ekspresi konser yang diperoleh melalui pengalaman inderawi sebagai bukti empiris nilai yang ada pada pentas konser. Dengan demikian, aksiologi filsafat melihat konser bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai sarana pemaknaan nilai-nilai kehidupan yang memperkaya dimensi emosional, moral, dan kultural manusia.

Sayangnya, beberapa penjelasan diatas kerap kali didistorsikan oleh perlakuan oknum-oknum yang melihat konser hanya sebagai tren “fear of missing out” atas dinamika zaman modern. Orang-orang ini menjadikan konser musik hanya pada kapasitas hiburan karena arus modernisasi zaman dan ikut-ikutan tanpa mengetahui esensi tersembunyi yang ada dibaliknya. Hal inilah yang tidak bisa dibenarkan dan memungkinkan adanya indikasi problematika chaos di antara penikmat konser dan berakhir pada konklusi general masyarakat bahwa konser hanya sebuah kegiatan sia-sia dan unbeneficial. Padahal, jika kita telaah lebih lanjut dan menyeluruh, hal ini sangat berkaitan dengan ragam cara pengekspresian emosional, adanya suasana kolektif antar sesama individu dan makna-makna mendalam pada tiap-tiap bait lagu yang dilantunkan.

Disisi lainnya, hal ini jelas berbeda realisasinya dalam konteks daerah Aceh. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena Aceh sendiri memiliki aturan yang tegas terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Masyarakat Aceh bersama para ulama dan pemerintah cukup memiliki pemahaman yang luas dalam mempertimbangkan antara kemaslahatan dan kemudharatan sesuatu hal yang ada di daerahnya.

Juga, mempertahankan kesyariatan yang ada di Aceh sebagai pengikat norma antar sesama individu dan jati diri yang ada dalam tiap-tiap pribadi orang-orang Aceh.

Namun, harapannya perihal pelarangan konser ini dapat dilaksanakan secara menyeluruh tanpa pandang bulu sebagai komitmen individu orang Aceh dalam mempertahankan dogma ke-qanun-annya. Baik konser dari band lokal maupun nasional harus tetap mendapatkan perlakuan yang sama agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan stigma negatif dalam elemen msyarakat. Jika konser tetap dilaksanakan, harus dalam pengawasan ketat pihak-pihak yang berkaitan serta memiliki keselarasan dengan prinsip-prinsip syariat yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi pernyataan penting demi mewujudkan atmosfer masyarakat Aceh yang adil, harmonis, aman dan sejahtera sebagai upaya implementasi negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

BERITA TERKAIT