Pengelolaan Dana Desa Gampong Matang Ben Diduga Jadi Lahan Korupsi Berjamaah

Foto: Ilustrasi, Dok. Google
Foto: Ilustrasi, Dok. Google

Pengelolaan Dana Desa Gampong Matang Ben Diduga Jadi Lahan Korupsi Berjamaah

Foto: Ilustrasi, Dok. Google
Foto: Ilustrasi, Dok. Google

 

Aceh Utara – Janji kesejahteraan melalui program ketahanan pangan di Desa Matang Ben, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara, berubah menjadi mimpi buruk.

Investigasi lapangan mengungkap dugaan kuat bahwa Dana Desa hanya menjadi lahan korupsi berjamaah. Program ketahanan pangan yang diklaim berjalan pada tahap pertama, diduga hanya fiktif belaka.

Padahal, Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Permendesa PDT) Nomor 3 Tahun 2025 secara tegas mengamanatkan alokasi minimal 20% Dana Desa untuk ketahanan pangan, melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau lembaga ekonomi masyarakat desa. Lebih lanjut, pencairan Dana Desa tahap II mensyaratkan penyerapan minimal 60% dan capaian keluaran rata-rata 40% dari Dana Desa tahap I.

Kejanggalan mencuat saat laporan pencairan tahap II menyatakan program ketahanan pangan telah berjalan. “Aneh bin ajaib, tipu-menipu seperti menjadi kebiasaan,” ujar seorang warga yang memilih anonim karena takut intimidasi.

BUMDes: diduga Kedok Penyelewengan?

Isu yang beredar menyebutkan program ketahanan pangan ini bukan milik masyarakat, diduga dikuasai kepala desa dan kroni-kroninya. BUMDes, yang seharusnya menjadi pengelola, jaga diduga hanya menjadi alat untuk memuluskan penyelewengan.

“BUMDes ini punya track record buruk. Dana tidak pernah jelas kemana, program simpan pinjam hanya untuk orang-orang tertentu saja, dan banyak yang tidak bayar,” imbuh sumber tersebut. Warga yang sudah melunasi pinjaman pun kesulitan mendapatkan pinjaman kembali.

Ironisnya, Rapat Program Ketahanan Pangan yang digelar hanya dihadiri sekitar 1% dari total warga desa (berdasarkan foto yang dikirimkan kepala desa).

Tak hanya ketahanan pangan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa pun diduga kuat tidak tepat sasaran. Informasi yang dihimpun menyebutkan dugaan penerima BLT didominasi kerabat atau orang-orang dekat istri kedua kepala desa.

Baca Juga:  Polres Subulussalam Evakuasi Penemuan Jenazah Salah Satu Korban Kecelakaan Mobil Masuk Jurang

“Kepala desa kan punya dua istri di desa ini. Jadi, diduga banyak yang dapat BLT itu karena ada hubungan keluarga atau dekat dengan istri-istrinya,” jelas sumber tersebut.

Masyarakat Tak Berdaya, Kebenaran Terkubur?

Masyarakat Desa Matang Ben sudah berupaya memperbaiki sistem pemerintahan desa yang dianggap bobrok. Namun, upaya mereka seolah menemui jalan buntu.

“Kami sudah komplain, tapi kami tidak bisa berbuat banyak. Segala cara sudah dicoba, tapi sepertinya kebenaran belum berpihak pada kami,” keluh warga dengan nada pasrah.

Geuchik Matang Ben, Saiful Amri, membantah tudingan tersebut. “Itu tidak benar apa yang disampaikan oleh oknum itu, jadi jangan percaya. Kalau perlu keterangan yang jelas, boleh turun ke desa kami,” ungkapnya kepada awak media. Ia juga mengajak untuk bertanya langsung kepada masyarakat pada rapat maulid di Meunasah.

Ironisnya, sang kepala desa justru menggunakan kata “oknum” bagi masyarakat yang mengkritiknya. Padahal, masyarakat yang mengkritisi pejabat publik tidak boleh dikatakan sebagai “oknum”. Menyebut pengkritik sebagai “oknum” dapat meredam kebebasan berpendapat dan menghambat fungsi kontrol sosial.

Kasus dugaan manipulasi Dana Desa di Matang Ben ini menjadi ironi tersendiri di tengah masyarakat yang dikenal Islami. Aparat penegak hukum diharapkan segera turun tangan mengusut tuntas dugaan penyelewengan ini dan membawa para pelaku ke meja hijau. Ketika desa dipimpin oleh orang-orang yang tidak kompeten, maka hanya praktik-praktik ke”dunguan” yang akan subur.

BERITA TERKAIT