Banda Aceh – 22 Februari 2025 Aktivis perempuan Yulindawati turut menanggapi polemik yang terjadi antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan pihak Partai Gerindra terkait pengangkatan Alhudri sebagai PLT Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh.
“Saya sarankan pihak kepolisian jika ada indikasi seperti yang diutarakan oleh Ketua DPRA adanya dugaan pelanggaran Hukum, untuk usut tuntas persoalan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Aceh (BKA). Jika benar bahwa SK tersebut bukan produk resmi BKA seperti yang dipertanyakan oleh Ketua DPRA, maka patut diduga telah terjadi maladministrasi di pemerintahan Aceh, lebih jauh lagi dapat dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen negara,” ujar Yulindawati dalam pernyataannya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa jika dugaan ini terbukti benar, maka kasus ini harus segera dilaporkan kepada pihak berwajib agar dapat diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut Yulindawati, belum genap satu bulan pemerintahan Muallem dan Dek Fadh berjalan, namun sudah mulai menunjukkan ketidakseimbangan. “Bau amis haus kekuasaan mulai tercium, dan ini merupakan sinyal yang tidak baik. Dengan lemahnya kemampuan Muallem dalam birokrasi serta administrasi pemerintahan, kondisi ini bisa berbahaya bagi stabilitas kepemimpinan Gubernur. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa pada tahun kedua, pemerintahan ini bisa mengalami kudeta,” tambahnya.
Selain itu, Yulindawati juga menyoroti keikutsertaan Muallem dan seluruh kepala daerah Aceh dalam kegiatan Retret 505 di Magelang. Menurutnya, hal ini sangat disayangkan mengingat Aceh merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam. “Seharusnya, dengan prinsip kekhususan Aceh dalam menegakkan syariat Islam, Muallem, Illiza, dan beberapa kepala daerah lainnya menolak untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retret adalah kegiatan perenungan yang umumnya dilakukan oleh salah satu agama non-Muslim. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariat Islam yang dijunjung tinggi di Aceh, seharusnya kegiatan ini dapat ditolak oleh para pemimpin daerah.
Yulindawati menekankan bahwa pemerintah Aceh harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang dapat berdampak pada citra kepemimpinan serta integritas pemerintahan di mata masyarakat Aceh yang mayoritas berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.(Bukhari)