Aceh Utara – Selasa (08/07/2025), Diduga bertujuan menutup-nutupi fakta, PT Bahruny Plantation Company (Bapco) adakan pertemuan pers guna meminta dukungan Media Massa memihak mereka untuk menjalankan system Perusahaan yang berbau menekan warga.
Disaat pemberitaan di beberapa media massa terkait sepak terjang Bapco yang dinilai tidak berorientasi mensejahtera Masyarakat seputaran Paya Bakong dan Pirak Timu Kabupaten Aceh Utara, Perusahaan besar perkebunan sawit tersebut terkesan menghindari konfirmasi Suaraindonesia-news.com dan beberapa media lokal lainnya, sehat Perusahaan itu melakukan pertemuan pers yang digelar dengan beberapa media massa lainnya guna klarifikasi informasi resmi peliputan wartawan suara Indonesia yang disebutkan pemberitaan negatif.
Pihak Bapco menyebutnya sebagai konferensi pers guna mengklarikasi pemberitaan ‘negatif’ yang kini menjadi trending topik seputaran lahan Hak Guna Usaha di Aceh. Pertemuan pers tersebut dilaksanakan secara senyap di Kebun Pirak, Kamis (04/07/2025) lalu.
Upaya yang dilakukan Bapco itu secara tidak langsung mengindikasikan, bahwa pihaknya telah melakukan pembungkaman informasi dan kebebasan berpendapat publik. Sebaliknya, suatu Perusahaan yang mengekangi aturan dan perundang-undangan memiliki kapasitas hukum dan standarisasi Perusahaan yang tak terlepas dengan informasi publik dan lingkungan sosial.
Informasi yang dihimpun suaraindonesia-news.com mendapati beberapa pernyataan PT Bapco yang akurat atas pemberitaan Suaraindonesia dalam beberapa kali penayangan sebelumnya, hal ini menjawab kebenaran dari ungkapan yang salah yang dilontarkan Bapco yang menyebut pemberitaan negatif.
Diantaranya, Estate Manager PT Bapco, Adi Santoso dalam keterangan Pers rilisnya menyatakan bantahan bahwa luas areal lahan HGU sebagaimana klaim Masyarakat setempat tidaklah benar. Akan tetapi mereka hanya menyebut terbengkalainya lahan berpuluhan tahun itu sebagai masa vakum imbas konflik.
“Lahan PT. Bapco tidak pernah dalam kondisi terlantar, hal ini dibuktikan dengan keberadaan Dokumen Hak Guna Usaha (HGU) yang masih aktif, terdaftar resmi, dan patuh dalam kewajiban perpajakan hingga saat ini,” lansir Pers rilis PT Bapco.
“Lahan HGU dengan No 29 — HGU — BPN RI — 2009 seluas 1.019.90 Ha, tidak dapat beroperasi dan mengelola kebun pada masa terjadinya konflik (masa vakum). Pengelolaan lahan dilakukan secara bertahap mengingat pembiayaan disokong oleh lembaga perbankan. Sebelum masa konflik, areal blok D17 yang saat ini diklaim oleh oknum masyarakat penggarap, sebenarnya telah dikelola, namun kemudian terbengkelai akibat kondisi situasional yang tidak kondusif dari tahun 1997 hingga 2006,” lanjut keterangan Bapco pada poin berikutnya.
Fakta lainya, peringatan (Somasi) penggusuran warga mulai dimunculkan pada awal tahun 2022, hal ini merujuk pada keterangan Masyarakat Alue Lhok Kecamatan Paya Bakong saat memberikan keterangan Persnya.
Dokumen asli Bapco tentang Hak Guna Usaha yang dipusat di Kebun Pirak, Paya Bakong diragukan, dimana perusahaan terkait pernah menolak untuk menampilkannya kepada warga yang berupa meminta ketarangan dan kejelasan atas lahan Garapan mereka yang diklaim sebagai HGU. Menurut warga lahan tersebut adalah hutan ulayat desa yang kemudian dijadikan pemukiman penduduk desa terkait.
“HGU ini pernah dikeluarkan dulu, semasa sebelum pemekaran kecamatan, dan yang kami ketahui tidak disebutkan desa Alue Lhok dalam dokumen asli HGU PT Bapco. Mereka hanya memberikan penjelasan kepada kami, tapi enggan menampilkan bukti,” kata Bukhari, Geuchik Alue Lhok, Senin (07/07/2025).
Masyarakat geram atas sanggahan beberapa pemberitaan media massa yang dianggap tidak pro Masyarakat. Beberapa wartawan yang dihadirkan dalam pertemuan pers di Kebun Pirak justru dianggap hanya mengutip rilis yang diterbitkan oleh perusahaan Bapco tanpa melakukan investigasinya terhadap Masyarakat.
“Mereka seolah-olah membenarkan pernyataan Bapco. Namun mereka tidak memahaminya bahwa tanah yang telah kami garap berpuluhan tahun silam dan kami jadikan pemukiman mau dirampas begitu saja.
Tanah ini terletak di dalam wilayah adat desa kami dan lahan ini pemukiman warga, kami garap karena yang dulunya hutan besar sarang gajah, harimau dan satwa laiinya dan disini tidak ada batang sawit seperti yang disebutkan pihak bapco yang ada adalah lahan kosong,” jelas Sofian warga Alue Lhok.(Red)