BANDA ACEH – Yulindawati, seorang aktivis perempuan Aceh, kembali memberikan kritik tajam terhadap proses hukum yang menyelubungi penerbitan Surat Keputusan (SK) Pejabat Sementara (PLT) Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Al Hudri. Meski konflik panas antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Wakil Gubernur telah mencapai titik damai, Yulindawati menegaskan bahwa ada persoalan hukum yang belum tuntas dan perlu penjelasan yang jelas kepada publik.
“Sebagai masyarakat, kita menyambut baik upaya damai tersebut demi kemaslahatan Aceh. Namun, kita tidak bisa mengabaikan masalah hukum yang harus dijelaskan dan dipertanggungjawabkan,” ujar Yulindawati dalam keterangannya.
Menurutnya, SK PLT Al Hudri yang diduga tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku menjadi inti permasalahan. Yulindawati menilai bahwa SK tersebut tidak melalui lembaga yang berwenang, yakni Badan Kepegawaian Aceh (BKA), dan terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses penerbitannya. Hal ini mencakup tidak adanya kop surat lambang Garuda, ketiadaan paraf, serta ketidakjelasan terkait Tim Ahli yang terlibat dalam proses tersebut.
“Bagaimana bisa PLT Sekda merangkap sebagai Tim Ahli? Mengapa dokumen ini tidak melalui Baperjakat atau BKA? Semua ini perlu dijelaskan, dan status hukumnya harus jelas,” tegas Yulindawati.
Dalam sidang paripurna yang melibatkan anggota DPRA, masalah ini juga telah disepakati untuk dibahas lebih lanjut, mengingat bukanlah persoalan yang mudah diselesaikan hanya dengan perdamaian. Ketua DPRA, menurutnya, harus memberikan jawaban pasti mengenai status SK tersebut kepada publik.
Yulindawati juga mengungkapkan adanya dugaan kejanggalan terkait SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) yang ditandatangani oleh PLT Sekda Dirwansyah, meskipun masa jabatannya sudah habis. SPPD tersebut berkaitan dengan pelantikan walikota dan bupati se-Aceh pada tanggal 12 Februari 2025. Seharusnya, SPPD tersebut ditandatangani oleh PLT Sekda Al Hudri yang baru dilantik pada saat itu. “Apakah SPPD tersebut berlaku mundur? Jika prosedur ini diabaikan, ini adalah penghinaan bagi para ahli hukum,” kritiknya.
Lebih lanjut, Yulindawati mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi terjadinya fitnah dan ketidakpastian yang bisa muncul akibat masalah ini. Masyarakat Aceh, menurutnya, merasa seperti menonton sebuah sinetron yang penuh kegaduhan, namun tanpa solusi yang jelas.
“Setelah perdamaian, masih ada tanggung jawab moral yang harus diselesaikan. Kita butuh kejelasan agar tidak ada keraguan dan fitnah yang berkembang di kemudian hari,” tambahnya.
Yulindawati berharap agar pihak yang berwenang segera memberikan penjelasan terkait proses hukum ini, untuk menjaga ketertiban dan memastikan bahwa aturan dihormati oleh siapa pun yang berkuasa.(Bukhari)